Breaking News
Loading...
Rabu, 12 Desember 2012

Bukan Sabda Nabi

-->



Sepengetahuan Anda, apakah kata, “Man jadda wa jada” adalah sabda Nabi?
Bagaimana dengan, “Khubbul wathoon minal iimaan,” apa itu juga sabda Nabi?
Kemudian yang ini, “Bekerjalah untuk duniamu seolah kau hidup selamanya dan berbuatlah untuk akhiratmu seolah kau mati esok.”
Kini, banyak ungkapan dan perkataan baik di masyarakat yang diklaim sebagai sabda Nabi, padahal bukan. Sekelumit ungkapan di atas adalah contohnya. Meski isinya bagus, tetap saja tidak boleh diatasnamakan sabda Nabi. Ada beberapa hal yang menyebabkan ungkapan yang bukan sbda Nabi bias tersebar, di antaranya adalah:

1. Kurangnya perhatian pada isnad
Isnad secara bahasa berarti mu’tamad(tempat bersandar). Sebab, matan adalah sesuatu yang disandarkan kepada isnad.Secara terminology, isnad adalah penyelidikan terhadap para perawi (periwayat hadits) dan meneliti keadaan mereka satu per satu dari aspek hafalan, ketelitian, dan sifat adil pada perawi, mulai perawi pertama hingga akhir.


Karunia inilah yang membentengi sunnah Nabi serta memelihara khazanah keislaman kita. Seandainya tidak ada isnad, siapapun akan berbicara semaunya. Saking hati-hatinya, ulama sunnah menolak sebuah hadits tanpa isnad sama sekali. Mereka memposisikan isnad menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hadits. Ketelitian metodologi penetapan sebuah hadits juga sudah diakui oleh selain kaum muslimin. Mereka mengakui bahwa tidak ada sebuah disiplin ilmu yang terkait dengan isnad nya dan lebih valid dalam penetapan mana yang shahih dan bermasalah, sepeerti ilmu hadits.

Kurangnya perhatian pada isnad kemudian menyebabkan ungkapan, kata mutiara, dan lain sebagainya dianggap sebagai sabda Nabi, padahal bukan.

2. Menggampangkan periwayatan hadits
Proses penghimpunan hadits tidak luput dari sekelompok orang yang menjadikan perjalanan mencari ilmu sebagai ajang untuk memenuhi kepentingan duniawi lainnya. Hal ini dapat terukur melalui ketelitian dalam meriwayatkan hadits. Orang-orang seperti itu bersedia menempuh perjalanan yang jauh ke sebuah negeri bukan dalam rangka isnad-nya yang shahih, tetapi agar disebut-sebut bahwa mereka telah pergi jauh untuk menimba ilmu; agar nama mereka pun dapat tercantum dalam deretan isnad. Bahkan ada yang ingin disebut sebagai perawi hadits. Mereka rela meriwayatkan hadit-hadits munkar dan gharib yang sesuai dengan selera masyarakat. Pada setiap masa, ada saja orang yang menyenangi riwayat gharib. Sebab, terdengar menghibur dan kandungannya pun sarat dengan objek yang belum tersentuh.

3. Tidak memahami kaidah dalam menyampaikan hadits dan menghukumi derajatnya
Hal ini mengakibatkan kebanyakan orang menganggap suatu perkataan merupakan sabda Nabi. Yang paling sering menjadi penyebab bercampurnya sabda Nabi dengan lainnya adalah khabar mauquf.

4. Tidak mengambil hadits dari sumber asli
Berapa banyak hadits yang telah beredar di tengah masyarakat, yang bersumber dari selain ulama, misal seorang muslim yang mendengar hadits tanpa sanad dari orang yang mengaku berilmu. Lalu, hadits tadi disampaikan kepada yang lain sehingga tersebar. Ada pula seorang sastrawan yang mengambilnya kemudian menulisnya di beberapa karangan atau bukunya, ia tidak peduli pada keabsahan penisbatnya kepada Nabi.

5. Kurangnya ilmu para juru dakwah dan khatib
Khususnya bagi mereka yang terjun demi mendapat pekerjaan saja, bukan karena cinta pada dakwah itu sendiri, bukan pula karena keinginan untuk mengemban risalah terbaik di muka bumi; risalah dakwah.

Sejak dakwah menjadi sebuah profesi yang bisa diraih hanya dengan standar kualifikasi dari universitas atau fakultas tertentu, tanpa mensyaratkan kepada pelaku menguasai bidang ilmu tertentu, hafiz, atau memang ahli dakwah, atau bahkan hanya sekadar diharap mau berusaha mengambil manfaat dan belajar. Maka muncullah para khatib yang menyebabkan manusia berkata sesuatu atas nama Nabi, padahal beliau tidak pernah mengatakannya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Toggle Footer